Jakarta, — Ketua Harian Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Papua Barat Daya, Franky Umpain menjadi salah satu narasumber dalam Rapat Koordinasi Terpadu (RKT) yang digelar bertempat di Kementerian Pertahanan RI, Jakarta, Kamis (23/10/25) lalu.
Rapat yang mengangkat tema ‘Membangun Paradigma Baru Pertahanan di Papua: Menghadapi Ancaman Separatisme dan Tantangan Geopolitik’ ini turut menghadirkan sejumlah pembicara penting, diantaranya Peneliti BRIN Prof. Dr. Ganewati Wuryandari dan perwakilan dari Badan Intelijen Negara (BIN).
Dalam kesempatan tersebut, Franky yang juga merupakan Anggota DPR Papua Barat Daya (jalur pengangkatan) memaparkan materi berjudul “Peran dan Tantangan OAP dalam Membangun Paradigma Baru Pertahanan Papua.”
Franky menjelaskan bahwa posisi strategis Papua secara geopolitik yakni diantara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik menjadikan wilayah ini memiliki daya tarik tersendiri bagi berbagai negara di kawasan tersebut.
Namun di sisi lain, kondisi ini turut membuat Papua rawan terhadap pengaruh eksternal dan potensi konflik berkepanjangan.
“Sejarah konflik di Papua telah berlangsung lama, sejak era pendudukan Belanda hingga sekarang. Banyak korban dari masyarakat maupun aparat yang jatuh, dan itu menimbulkan trauma mendalam bagi masyarakat,” ujar Franky dalam paparannya.
Ia menerangkan bahwa stigma separatis yang kerap disematkan kepada Orang Asli Papua (OAP) turut memperburuk kondisi sosial dan psikologis masyarakat.
“Ada kecurigaan kolektif terhadap OAP yang menimbulkan jarak sosial dan ketidakpercayaan. Ini menjadi salah satu akar persoalan yang perlu diselesaikan dengan pendekatan yang lebih humanis,” jelasnya.
Franky turut menyoroti bahwa meskipun pemerintah telah menerapkan Otonomi Khusus sejak 2001, serta menggelontorkan berbagai program pembangunan, realisasi kemajuan di Papua masih berjalan lambat.
“Di Papua itu terlalu banyak lembaga kultur yang berjalan sendiri-sendiri. Akibatnya, tidak jelas siapa yang benar-benar menjadi pengurus utama adat dan budaya,” tegasnya.
Selain itu, dirinya menilai pendekatan militer yang masih dominan perlu dikaji ulang. Menurutnya, pembangunan Papua akan lebih efektif apabila dilakukan dengan pendekatan kesejahteraan, pemberdayaan, dan penghormatan terhadap identitas OAP.
Untuk mewujudkan Papua sebagai Tanah Damai, Franky mengusulkan beberapa langkah strategis, diantaranya:
“Jika OAP diberi ruang untuk terlibat secara nyata dalam pembangunan, maka akar persoalan konflik akan perlahan hilang. Dari situ kita dapat membangun Papua sebagai Tanah Damai yang sesungguhnya,” tutupnya. (*)
Tidak ada komentar