Sorong Today, Sorong – Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertanahan (LHKP) Provinsi Papua Barat Daya, Julian Kelly Kambu menegaskan pentingnya percepatan penyusunan peta adat serta sertifikasi tanah adat di seluruh kabupaten/kota se-Papua Barat Daya.
Hal ini disampaikan Kadis LHKP PBD Julian Kelly Kambu saat ditemui awak media usai membuka pelaksanaan sosialisasi Program Adiwiyata bertempat disalah satu hotel di Kota Sorong, Rabu (26/11/2025).
Is menyebut bahwa sejumlah peraturan daerah (perda) tentang masyarakat hukum adat yang telah diterbitkan kabupaten/kota tidak boleh hanya berhenti sebagai dokumen legal, tetapi harus ditindaklanjuti dengan kerja nyata, terutama pendataan dan pengakuan wilayah adat.
“Perda masyarakat hukum adat jangan hanya jadi kebanggaan. Perda itu harus ditindaklanjuti. Masyarakat adat harus punya peta adat,” tegas Kadis LHKP PBD Julian Kelly Kambu.
Dirinya menjelaskan, penyusunan peta adat sangat penting lantaran masih sering terjadi perbedaan klaim tanah berdasarkan batas-batas tradisional seperti gunung, lembah, sungai dan batu. Menurutnya, kondisi ini berpotensi menimbulkan konflik saat ada investasi atau program pembangunan pemerintah.
“Sertifikasi harus dianggarkan. Harus ada tim yang menaruh titik-titik koordinat. Ini tanah marga siapa? Jika ada investasi, kita harus tau dia masuk tanah adat marga mana,” ucapnya.
Kelly Kambu berharap dana Otonomi Khusus (Otsus) dapat dimanfaatkan untuk mendukung proses pemetaan adat tersebut.
Dalam kesempatan tersebut, ia turut mengungkapkan bahwa pemerintah provinsi saat ini sedang melakukan peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Papua Barat Daya pasca pemekaran. Upaya ini dilakukan untuk mengakomodasi ruang adat, ruang pembangunan, kawasan konservasi, dan ruang lain sesuai peruntukan.
“Kami butuh partisipasi bupati dan wali kota. Gubernur ini koordinator, bukan pemilik masyarakat dan wilayah. Semua kebijakan harus melalui koordinasi yang baik,” jelasnya.
Ia menerangkan bahwa terdapat sejumlah persoalan di daerah yang mengembalikan anggaran pembangunan hingga Rp 160–180 miliar, lantaran rencana pembangunan berada di kawasan hutan yang tidak sesuai aturan.
“Ini terjadi karena tidak memperhatikan RTRW. Hal itu penting untuk diperhatikan, jangan sampai sudah bangun program, ternyata berada di kawasan hutan,” tuturnya.
Ia membeberkan bahwa setelah RTRW provinsi ditetapkan, seluruh RTRW kabupaten/kota wajib menyesuaikan. Dampaknya meliputi perubahan fungsi hutan, pengurangan luas kawasan hutan, serta penetapan ruang pembangunan yang legal.
Kelly Kambu menekankan pentingnya sinergi antarinstansi, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Ia mengingatkan bahwa permohonan terkait kawasan hutan tidak perlu langsung disampaikan ke pemerintah pusat tanpa melalui provinsi.
“Provinsi ini perwakilan pemerintah pusat. Jangan ke Jakarta dulu. Semua harus melalui rekomendasi gubernur, dan ada prosedurnya,” tegasnya.
Ia mengibaratkan kerja pemerintahan seperti bus kota yang memiliki aturan yakni Sesama bus kota tidak boleh saling mendahului.
Pada kesempatan itu, dirinya menambahkan bahwa visi Papua Barat Daya adalah membangun masyarakat yang maju, mandiri, dan sehat, berbasis pertumbuhan ekonomi lokal, serta melalui pembangunan yang berkelanjutan dan selaras dengan ruang adat. (*)
Tidak ada komentar